JOURNAL

Jumat, 30 Oktober 2015

JURAI, Tentang Kehilangan Yang Membangkitkan Kekuatan Untuk Meraih Cita-Cita



Catuk masih kelas 5 SD ketika sosok ayah yang menjadi tumpuan keluarga, pergi untuk selamanya meninggalkan dirinya beserta ibu dan tiga orang kakak perempuannya.

Dalam rasa kehilangan yang dalam, petaka seakan beruntun menyambangi keluarganya. Dari timpangnya kaki sang ibu dalam mengayun langkah biduk rumah tangga, himpitan hutang, hingga kematian tragis sang ayah yang semula dikira akibat amukan seekor babi, ternyata faktanya mengalami kecelakaan mengerikan yang disebabkan oleh anak toke karet tempat di mana ayahnya bekerja menyadap karet. Tak lama kemudian, kehadiran seorang perempuan dengan dua anak yang ternyata merupakan istri dan anak almarhum ayahnya, bagai tangga yang menimpa anak beranak yang sudah jatuh kesusahan. Sebuah kenyataan yang selama ini disembunyikan rapat oleh sang ayah, tak terelakkan, menghantam jiwa raga ibunya dengan begitu keras, menghancurkan hatinya berkeping-keping.

Ketegaran yang luruh, semangat yang layu, jiwa yang kerontang, dan tubuh-tubuh lemah yang kehilangan pegangan, itulah gambaran diri Catuk, ibunya dan ketiga kakak perempuannya. Dendam membara. Benci berkembang. Putus asa. Air mata. Segala kepahitan mereka telan. Aib, caci maki, letih, mengisi hari-hari yang tak kunjung usai didera derita. Beruntung Catuk masih memiliki kawan-kawan kecil yang baik, yang menyemangatinya untuk tidak cengeng dan berlarut dengan kesedihan. Catuk bangkit, meneruskan hidup, walau kadangkala masih labil.

Ibunya bangkit dari keterpurukan. Ia belajar dari kebodohannya, yang membuatnya ditipu oleh suaminya sendiri, juga toke karet yang anaknya melindas suaminya dengan motor.

Dengan segala keterbatasan, ibunya berjuang dengan caranya yang “unik”. Ia menentang kebiasaan orang-orang dusun yang menganggap anak perempuan tak perlu sekolah, tak perlu belajar tinggi-tinggi, cukup belajar mengurus rumah, mengurus anak dan suami. Kakak-kakak perempuan Catuk ingin sekolah, melanjutkan ke SMA. Tak ingin lekas kawin, apalagi seumur hidup hanya mengenal pekerjaan bernama tukang sadap karet.

Cibiran orang dusun, juga penolakan dari keluarga, menjadi bagian pahit atas jalan yang dipilih ibu Catuk. Namun ia tak peduli, tekatnya untuk menyekolahkan anak-anak gadisnya ke kota tetap dilaksanakannya meskipun mereka sekeluarga harus berpisah dengan dusun, juga dengan salah satu kakak perempuan Catuk.

---ooo000ooo---

Kehilangan, perjuangan, dan kebangkitan, menjadi tema paling menarik dalam novel ini. Pun, setting tempat dan beberapa bahasa daerah yang terselip, cukup familiar bagi saya pribadi. Sejujurnya pula, hal yang membuat saya tertarik untuk membaca dan membeli novel ini adalah karena judulnya. JURAI. Kata Jurai berhasil menghipnotis mata dan pikiran saya. Saya yakin tak banyak yang akan mengalami ini kecuali orang-orang tertentu yang punya history tentang makna di balik kata Jurai. Selain itu, sebagai seorang yang juga bagian dari etnis Melayu, yang pernah bermukim di Sumatera Selatan, kosa kata Jurai tidak asing bagi saya. Walaupun tidak biasa terucap, tapi kata-kata itu di telinga saya sangat istimewa. Seistimewa penggunaannya dalam bahasa.

Novel Jurai tak hanya berkisah tentang kehilangan dan semangat untuk bangkit dari kehilangan, tetapi juga menyelipkan pesan akan pentingnya sekolah dan kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan pendidikan. Saya kira, jika dihubung-hubungkan dengan bulan April dimana diperingatinya hari Kartini, maka novel ini saya baca pada waktu dan moment yang tepat.

Opening cerita dengan kejadian penuh duka, tetapi tak membuat saya meneteskan air mata (soalnya di FB Guntur kerap disebut banyak pembaca yang menangis baca awal-awal novel ini). Justru saya bertanya-tanya penyebab kematian Ebak, tapi tak ada jawaban bahkan hingga saya sampai pada bab 7. Lucunya, ketika sampai di bab tiga saya mengulang membaca ke bab 1, mengecek barangkali ada bagian yang saya lewatkan. Eh, ternyata memang tak ada. Jawaban itu baru ada di bab 8! Duh, cerita sudah kemana-mana, jauh menembus waktu dan episode hidup Catuk berikutnya, pun rasa penasaran saya juga sudah hilang, jawabannya baru muncul. Saya lebih suka kalo kematian Ebak akibat amuk babi itu disebutkan di saat kejadian. Hehe…suka-suka penulis dong ya.

Cerita bergulir, dituturkan dengan ringan walau penuh sedu sedan, dan saya bisa terbawa dalam suasana cerita sedih tapi tidak sampai menangis. Bukan saya tidak berempati, tapi karena saya sudah sering mendengar cerita seperti ini dari anak-anak dan adik-adik asuh saya yang juga tinggal di Muara Enim sana. Kisah yang umum terjadi di pelosok dusun yang miskin. Realita itu memang masih ada sampe sekarang. Hiks. Sedih deh *sedih ama desa-desa yang masih miskin*

Saya kesal dengan kebiasaan orang-orang (ga di dusun ga di kota sama saja) yang bila ada kematian, harus direpotkan dengan menghidangkan makanan dan minuman untuk tamu yang melayat. Ternyata kebiasaan itu masih ada ya. Sedih. Orang dirundung duka kok malah sibuk melayani orang-orang makan. Sudah miskin, kehilangan tumpuan keluarga, mesti berhutang pula demi perut orang lain. Pelayatnya juga, jangan dibiasakan bertakziah untuk makan dong! *lha kok marah*. Justru harusnya ngasih makan. Bukan sebaliknya. Tahlilan = beban. Hiks. Ayo, Tur, dobrak kebiasaan itu! *Ngomong sama Guntur.

Efek kematian bagi orang miskin itu bener-bener menyusahkan. Kalo ga punya apa-apa, acara tahlilan bisa bikin orang berhutang. Duh!

Mengenai kosa kata dalam bahasa daerah. Hoooo…saya ngakak baca kata “jabalan”. Itu sebutan yang mengerikan jika dilekatkan pada seseorang haha. Trus, berlarat itu apa? Berlarut-larut ya? Saya baru dengar. Di hal 38, saya kira salah ketik. Eh ga taunya di halaman 43 dan 84, ada lagi “berlarat-larat”. Jadi penasaran, berlarat itu bahasa daerah atau kata berlarut-larut yang salah ketik? Tulungan itu sering liatnya dibawa pake baskom yang dibungkus taplak meja (sewaktu menjelajah kampung, saya pernah liat itu). Namanya Pasu. Haha bener ga Tur? Di Betawi sini juga sama, bawa tulungan kalo ada kematian dan pesta.

Dogma tentang JURAI itu emang ga bikin musrik apa? Gimana enggak, lha wong pada percaya kalo ada kesamaan paras antara bapak dengan anaknya, pertanda salah satunya akan mati. Lha, saya juga sangat mirip dengan almarhum Ayah saya, dan kemudian Ayah saya meninggal karenanya, “mengalah” pada saya. Trus itu artinya kematian disebabkan karena mewarisi “jurai” Ayah? Beuh!  Simplenya, gara-gara Jurai, orang-orang dibuat sibuk untuk meramalkan kematian seseorang. Padahal, meramal itu ga dibenarkan lho oleh agama Islam.

Saya tertarik dengan legenda orang-orang Kebon Undang yang raib ke alam lelembut (hal 94-95). Termasuk cerita yang berkaitan dengan Kerajaan Hindu-Budha yang pernah ada di Desa Bumi Ayu. Keberadaan 12 candi sebagai bukti kerajaan kecil di bawah Sriwijaya, bikin saya ingin  melihat dan berwisata ke sana. Moga suatu hari. *tukang wisata haha.

Oh ya Tur, bahasamu sesekali tidak ringan, sebab beberapa penggambaran rasa dibahasakan dengan hiperbolis. Itu kata saya sih, kalo kata orang yang paham sastra mungkin nyebutnya “nyastra” :D

Sisa-sisa kepercayaan dahulu, seperti Hindu dan Budha, bahkan ritual hindu yang dilakukan oleh Pugoe ilir, saya rasa memang masih bisa ditemukan di daerah lainnya di sumsel.

Saya menyukai cerita di peringatan empat puluh hari Ebak, di mana Guntur melukiskan isi benaknya seperti ini:
Dalam benakku, suara-suara kami membentuk sebuah kabut putih yang berkitar mengelilingi limas. Lalu, kabut itu membubung ke udara, menuju langit di angkasa raya. Dan kubayangkan Ebak yang tadi berdiri di tengah limas, pelan-pelan dibungkus kabut putih itu. Kabut membawanya terbang ke atas, ke langit-langit limas, menerobos genting, lalu mengambang di atas bubungan rumah. Di sana ia menatapku, dan berbisik pelan,” Jaga Emak dan ayuk-ayukmu. Ebak titip mereka. Sekarang kaulah yang harus berdiri tegak di tengah limas ini.” Aku tak menjawab kata-katanya. Mataku hanya menatapnya nanar. Perlahan, ia membubung ke angkasa, ke gelap malam, dalam bungkusan kabut.
Guntur, tau gak? Dulu waktu masih SD, saya juga pernah berfikir bahwa ketika saya berdoa untuk alm ayah saya (berdoa dengan cara saya :) ), ayah seakan datang dibungkus kabut putih yang berasal dari doa yang saya panjatkan. Ternyata, imajinasi kita ketika kanak-kanak sama ya :D

Saya suka Catuk yang rajin membaca di perpustakaan. Membaca banyak buku. Mungkin dari sana “Catuk Besar” kini pandai menulis ya *senyum penuh arti pada Guntur* Jangan melotot, Tur!*. Memang beda lho antara anak yang gemar membaca dan yang tidak, saat dewasa kliatan. Oh ya, kegemaran Catuk ke perpus diam-diam itu mengingatkan diri saya sendiri. Dulu, waktu SD, saya bersekolah di YKPP Pendopo (sekolahnya anak-anak pegawai Pertamina <-- bkn pamer, awas lho ngatain saya pamer :p), saya adalah murid yang paling rajin ke perpus *muji diri sendiri*. Di jam istirahat, atau jam kosong pelajaran, saya biasanya lebih memilih duduk di Perpus (kebetulan perpus saya keren bukan main, pertamina gitu lho, halah..preet! :p). Membaca novel-novel karya Enyd Blyton (masih banyak sih buku lainnya, tapi yg paling saya ingat ya novel itu). Teman-teman saya sibuk ke kantin jajan pempek panggang dan tekwan, saya malah ke perpus ngubek-ngubek rak buku. Saya suka anak-anak yang baca buku ketimbang jajan or main-main. Asli, saya serius tingkat dewa.

Terselip romansa antara Catuk dan Dewi. Aiiih….cinta kera! Eh Monyet :p Lucu sih, eh tapi, kecil-kecil kok sudah ngerti cinta-cintaan? Ungkapan hati dan rindu Catuk itu terlalu dewasa menurutku. 11 tahun ya kan usia 5 SD itu? Kok rasanya belum wajar ya. Apalagi kata-kata puitis yang menyertainya, hiks…ga berlebihankah? Saya saja udah SMU baru ngerti suka ama lawan jenis. Itupun ga sampe sedalam itu. Apalagi ada rasa pingin ketemuan sama orang yang disuka. Duh!

Di antara banyaknya cerita duka dan perjuangan bangkit mengusir kedukaan, terselip cerita lucu yang bikin saya tertawa, yakni ketika Sarpin bercerita tentang 3 gadis buruk rupa yang terjun dari jurang agar bisa berubah cantik Haha... Yang satu pingin cantik seperti Iis Dahlia, yang satunya ingin seperti Rika istri Rhoma Irama, dan yang ketiga gagal menyebut Nike Ardila gara-gara tersandung, yang disebut malah si Noyok, gadis preman bertampang laki-laki :))

Oh iya, Dusun Tanah Abang dalam novel ini ternyata letaknya arah Pendopo sana. Pertama baca, saya kira Tanah Abang yang di Muara Enim. Maksud saya, yang berada persis dalam kota Muara Enim. Pantesan saya bingung pas baca bagian Catuk yang mau ke Tanjung Enim mesti melewati Simpang Belimbing. Jauh amat pikir saya. Baru tahu kalo ada Tanah Abang lainnya. Ini dekat ga ya dengan Lapangan Golf Pendopo? *Jawab Tur! :D

Pada akhirnya, orang-orang yang ingin maju terus belajar dari kesalahannya. Emak tak ingin anak-anaknya bodoh, apalagi buta huruf sepertinya. Ia rela berjuang mati-matian agar empat anaknya dapat terus sekolah. Ia bangkit, menerima keadaannya, berhenti berlarut-larut dalam sedih, melanjutkan hidup dengan tegar. Pengakuan-pengakuan yang menyakitkan memang menjatuhkan, tapi jatuh akan membuat semuanya terkapar, jadi pilihan berjuang hingga tetes darah terakhir, menjadi pilihan paling menakjubkan.

Novel ini membuka kembali ruang empati saya pada mereka-mereka yang masih bergumul dengan kemiskinan, yang ingin bersekolah tapi dililit kemiskinan, pada janda-janda di desa yang jauh, yang sendirian berjuang untuk melanjutkan hidup dirinya dan anak-anaknya.

Bagi kalian yang butuh suntikan semangat, yang mampu tapi menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk maju dan berprestasi, yang berkecukupan tapi tidak bersyukur, silahkan baca Jurai. Temukan semangat untuk bangkit, melanjutkan hidup, dan meraih cita-cita.

Hidup itu indah, bagi mereka yang memperjuangkan hidupnya.

==============================

Judul: JURAI
Penulis: Guntur Alam
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama - Jakarta


*30/04/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar