Catuk masih kelas 5 SD ketika
sosok ayah yang menjadi tumpuan keluarga, pergi untuk selamanya meninggalkan dirinya beserta ibu dan tiga orang kakak perempuannya.
Dalam rasa kehilangan yang dalam,
petaka seakan beruntun menyambangi keluarganya. Dari timpangnya
kaki sang ibu dalam mengayun langkah biduk rumah tangga, himpitan hutang,
hingga kematian tragis sang ayah yang semula dikira akibat amukan seekor babi,
ternyata faktanya mengalami kecelakaan mengerikan yang disebabkan oleh anak toke karet tempat di mana ayahnya
bekerja menyadap karet. Tak lama kemudian, kehadiran seorang perempuan dengan
dua anak yang ternyata merupakan istri dan anak almarhum ayahnya, bagai tangga
yang menimpa anak beranak yang sudah jatuh kesusahan. Sebuah kenyataan yang
selama ini disembunyikan rapat oleh sang ayah, tak terelakkan, menghantam jiwa
raga ibunya dengan begitu keras, menghancurkan hatinya berkeping-keping.
Ketegaran yang luruh, semangat
yang layu, jiwa yang kerontang, dan tubuh-tubuh lemah yang kehilangan pegangan,
itulah gambaran diri Catuk, ibunya dan ketiga kakak perempuannya. Dendam
membara. Benci berkembang. Putus asa. Air mata. Segala kepahitan mereka telan.
Aib, caci maki, letih, mengisi hari-hari yang tak kunjung usai didera derita. Beruntung
Catuk masih memiliki kawan-kawan kecil yang baik, yang menyemangatinya untuk
tidak cengeng dan berlarut dengan kesedihan. Catuk bangkit, meneruskan hidup,
walau kadangkala masih labil.
Ibunya bangkit dari keterpurukan.
Ia belajar dari kebodohannya, yang membuatnya ditipu oleh suaminya sendiri,
juga toke karet yang anaknya melindas suaminya dengan motor.
Dengan segala keterbatasan,
ibunya berjuang dengan caranya yang “unik”. Ia menentang kebiasaan orang-orang
dusun yang menganggap anak perempuan tak perlu sekolah, tak perlu belajar
tinggi-tinggi, cukup belajar mengurus rumah, mengurus anak dan suami.
Kakak-kakak perempuan Catuk ingin sekolah, melanjutkan ke SMA. Tak ingin lekas
kawin, apalagi seumur hidup hanya mengenal pekerjaan bernama tukang sadap
karet.
Cibiran orang dusun, juga
penolakan dari keluarga, menjadi bagian pahit atas jalan yang dipilih ibu
Catuk. Namun ia tak peduli, tekatnya untuk menyekolahkan anak-anak gadisnya ke kota tetap dilaksanakannya
meskipun mereka sekeluarga harus berpisah dengan dusun, juga dengan salah satu
kakak perempuan Catuk.
---ooo000ooo---
Kehilangan, perjuangan, dan
kebangkitan, menjadi tema paling menarik dalam novel ini. Pun, setting tempat
dan beberapa bahasa daerah yang terselip, cukup familiar bagi saya pribadi.
Sejujurnya pula, hal yang membuat saya tertarik untuk membaca dan membeli novel
ini adalah karena judulnya. JURAI. Kata Jurai berhasil menghipnotis mata dan
pikiran saya. Saya yakin tak banyak yang akan mengalami ini kecuali orang-orang
tertentu yang punya history tentang makna di balik kata Jurai. Selain itu, sebagai
seorang yang juga bagian dari etnis Melayu, yang pernah bermukim di Sumatera
Selatan, kosa kata Jurai tidak asing bagi saya. Walaupun tidak biasa terucap,
tapi kata-kata itu di telinga saya sangat istimewa. Seistimewa penggunaannya
dalam bahasa.
Novel Jurai tak hanya berkisah
tentang kehilangan dan semangat untuk bangkit dari kehilangan, tetapi juga
menyelipkan pesan akan pentingnya sekolah dan kesetaraan perempuan dan laki-laki
dalam mendapatkan pendidikan. Saya kira, jika dihubung-hubungkan dengan bulan
April dimana diperingatinya hari Kartini, maka novel ini saya baca pada waktu dan moment
yang tepat.
Opening cerita dengan kejadian
penuh duka, tetapi tak membuat saya meneteskan air mata (soalnya di FB Guntur
kerap disebut banyak pembaca yang menangis baca awal-awal novel ini). Justru saya
bertanya-tanya penyebab kematian Ebak, tapi tak ada jawaban bahkan hingga saya
sampai pada bab 7. Lucunya, ketika sampai di bab tiga saya mengulang membaca ke
bab 1, mengecek barangkali ada bagian yang saya lewatkan. Eh, ternyata memang
tak ada. Jawaban itu baru ada di bab 8! Duh, cerita sudah kemana-mana, jauh
menembus waktu dan episode hidup Catuk berikutnya, pun rasa penasaran saya juga
sudah hilang, jawabannya baru muncul. Saya lebih suka kalo kematian Ebak akibat
amuk babi itu disebutkan di saat kejadian. Hehe…suka-suka penulis dong ya.
Cerita bergulir, dituturkan
dengan ringan walau penuh sedu sedan, dan saya bisa terbawa dalam suasana cerita sedih tapi tidak
sampai menangis. Bukan saya tidak berempati, tapi karena saya sudah sering
mendengar cerita seperti ini dari anak-anak dan adik-adik asuh saya yang juga
tinggal di Muara Enim sana.
Kisah yang umum terjadi di pelosok dusun yang miskin. Realita itu memang masih
ada sampe sekarang. Hiks. Sedih deh *sedih ama desa-desa yang masih miskin*
Saya kesal dengan kebiasaan orang-orang (ga di
dusun ga di kota sama saja) yang bila ada kematian, harus direpotkan dengan menghidangkan makanan dan
minuman untuk tamu yang melayat. Ternyata kebiasaan itu masih ada ya. Sedih.
Orang dirundung duka kok malah sibuk melayani orang-orang makan. Sudah miskin,
kehilangan tumpuan keluarga, mesti berhutang pula demi perut orang lain. Pelayatnya
juga, jangan dibiasakan bertakziah untuk makan dong! *lha kok marah*. Justru
harusnya ngasih makan. Bukan sebaliknya. Tahlilan = beban. Hiks. Ayo, Tur,
dobrak kebiasaan itu! *Ngomong sama Guntur.
Efek kematian bagi orang miskin itu
bener-bener menyusahkan. Kalo ga punya apa-apa, acara tahlilan bisa bikin orang
berhutang. Duh!
Mengenai kosa kata dalam bahasa
daerah. Hoooo…saya ngakak baca kata “jabalan”. Itu sebutan yang mengerikan jika
dilekatkan pada seseorang haha. Trus, berlarat itu apa? Berlarut-larut ya? Saya
baru dengar. Di hal 38, saya kira salah ketik. Eh ga taunya di halaman 43 dan
84, ada lagi “berlarat-larat”. Jadi penasaran, berlarat itu bahasa daerah atau
kata berlarut-larut yang salah ketik? Tulungan
itu sering liatnya dibawa pake baskom yang dibungkus taplak meja (sewaktu
menjelajah kampung, saya pernah liat itu). Namanya Pasu. Haha bener ga Tur? Di
Betawi sini juga sama, bawa tulungan kalo
ada kematian dan pesta.
Dogma tentang JURAI itu emang ga
bikin musrik apa? Gimana enggak, lha wong pada percaya kalo ada kesamaan paras
antara bapak dengan anaknya, pertanda salah satunya akan mati. Lha, saya juga
sangat mirip dengan almarhum Ayah saya, dan kemudian Ayah saya meninggal
karenanya, “mengalah” pada saya. Trus itu artinya kematian disebabkan karena
mewarisi “jurai” Ayah? Beuh! Simplenya, gara-gara
Jurai, orang-orang dibuat sibuk untuk
meramalkan kematian seseorang. Padahal, meramal itu ga dibenarkan lho oleh
agama Islam.
Saya tertarik dengan legenda orang-orang
Kebon Undang yang raib ke alam lelembut (hal 94-95). Termasuk cerita yang
berkaitan dengan Kerajaan Hindu-Budha yang pernah ada di Desa Bumi Ayu.
Keberadaan 12 candi sebagai bukti kerajaan kecil di bawah Sriwijaya, bikin saya
ingin melihat dan berwisata ke sana. Moga suatu hari.
*tukang wisata haha.
Oh ya Tur, bahasamu sesekali
tidak ringan, sebab beberapa penggambaran rasa dibahasakan dengan hiperbolis. Itu
kata saya sih, kalo kata orang yang
paham sastra mungkin nyebutnya “nyastra” :D
Sisa-sisa kepercayaan dahulu,
seperti Hindu dan Budha, bahkan ritual hindu yang dilakukan oleh Pugoe ilir,
saya rasa memang masih bisa ditemukan di daerah lainnya di sumsel.
Saya menyukai cerita di
peringatan empat puluh hari Ebak, di mana Guntur
melukiskan isi benaknya seperti ini:
“ Dalam benakku, suara-suara kami
membentuk sebuah kabut putih yang berkitar mengelilingi limas. Lalu, kabut itu
membubung ke udara, menuju langit di angkasa raya. Dan kubayangkan Ebak yang
tadi berdiri di tengah limas, pelan-pelan dibungkus kabut putih itu. Kabut
membawanya terbang ke atas, ke langit-langit limas, menerobos genting, lalu
mengambang di atas bubungan rumah. Di sana
ia menatapku, dan berbisik pelan,” Jaga Emak dan ayuk-ayukmu. Ebak titip
mereka. Sekarang kaulah yang harus berdiri tegak di tengah limas ini.” Aku tak
menjawab kata-katanya. Mataku hanya menatapnya nanar. Perlahan, ia membubung ke
angkasa, ke gelap malam, dalam bungkusan kabut.
Guntur, tau gak? Dulu waktu masih SD, saya
juga pernah berfikir bahwa ketika saya berdoa untuk alm ayah saya (berdoa
dengan cara saya :) ), ayah seakan datang dibungkus kabut putih yang
berasal dari doa yang saya panjatkan. Ternyata, imajinasi kita ketika kanak-kanak
sama ya :D
Saya suka Catuk yang rajin
membaca di perpustakaan. Membaca banyak buku. Mungkin dari sana
“Catuk Besar” kini pandai menulis ya *senyum penuh arti pada Guntur* Jangan melotot, Tur!*. Memang beda
lho antara anak yang gemar membaca dan yang tidak, saat dewasa kliatan.
Oh ya, kegemaran Catuk ke perpus diam-diam itu mengingatkan diri saya sendiri.
Dulu, waktu SD, saya bersekolah di YKPP Pendopo (sekolahnya anak-anak pegawai
Pertamina <-- bkn pamer, awas lho ngatain saya pamer :p), saya adalah murid yang paling rajin ke perpus *muji diri sendiri*.
Di jam istirahat, atau jam kosong pelajaran, saya biasanya lebih memilih duduk
di Perpus (kebetulan perpus saya keren bukan main, pertamina gitu lho, halah..preet! :p). Membaca novel-novel karya Enyd Blyton (masih banyak sih buku
lainnya, tapi yg paling saya ingat ya novel itu). Teman-teman saya sibuk ke
kantin jajan pempek panggang dan tekwan, saya malah ke perpus ngubek-ngubek rak
buku. Saya suka anak-anak yang baca buku ketimbang jajan or main-main. Asli, saya serius tingkat dewa.
Terselip romansa antara Catuk dan
Dewi. Aiiih….cinta kera! Eh Monyet :p Lucu sih, eh tapi, kecil-kecil kok sudah
ngerti cinta-cintaan? Ungkapan hati dan rindu Catuk itu terlalu dewasa
menurutku. 11 tahun ya kan
usia 5 SD itu? Kok rasanya belum wajar ya. Apalagi kata-kata puitis yang
menyertainya, hiks…ga berlebihankah? Saya saja udah SMU baru ngerti suka ama
lawan jenis. Itupun ga sampe sedalam itu. Apalagi ada rasa pingin ketemuan sama
orang yang disuka. Duh!
Di antara banyaknya cerita duka dan perjuangan bangkit mengusir kedukaan, terselip cerita lucu yang bikin saya tertawa, yakni ketika Sarpin bercerita tentang 3 gadis buruk rupa yang terjun dari jurang agar bisa berubah cantik Haha... Yang satu pingin cantik seperti Iis Dahlia, yang satunya ingin seperti Rika istri Rhoma Irama, dan yang ketiga gagal menyebut Nike Ardila gara-gara tersandung, yang disebut malah si Noyok, gadis preman bertampang laki-laki :))
Oh iya, Dusun Tanah Abang dalam novel ini ternyata letaknya arah Pendopo sana. Pertama baca, saya kira Tanah Abang yang di Muara Enim. Maksud saya, yang berada persis dalam kota Muara Enim. Pantesan saya bingung pas baca bagian Catuk yang mau ke Tanjung Enim mesti melewati Simpang Belimbing. Jauh amat pikir saya. Baru tahu kalo ada Tanah Abang lainnya. Ini dekat ga ya dengan Lapangan Golf Pendopo? *Jawab Tur! :D
Di antara banyaknya cerita duka dan perjuangan bangkit mengusir kedukaan, terselip cerita lucu yang bikin saya tertawa, yakni ketika Sarpin bercerita tentang 3 gadis buruk rupa yang terjun dari jurang agar bisa berubah cantik Haha... Yang satu pingin cantik seperti Iis Dahlia, yang satunya ingin seperti Rika istri Rhoma Irama, dan yang ketiga gagal menyebut Nike Ardila gara-gara tersandung, yang disebut malah si Noyok, gadis preman bertampang laki-laki :))
Oh iya, Dusun Tanah Abang dalam novel ini ternyata letaknya arah Pendopo sana. Pertama baca, saya kira Tanah Abang yang di Muara Enim. Maksud saya, yang berada persis dalam kota Muara Enim. Pantesan saya bingung pas baca bagian Catuk yang mau ke Tanjung Enim mesti melewati Simpang Belimbing. Jauh amat pikir saya. Baru tahu kalo ada Tanah Abang lainnya. Ini dekat ga ya dengan Lapangan Golf Pendopo? *Jawab Tur! :D
Pada akhirnya, orang-orang yang
ingin maju terus belajar dari kesalahannya. Emak tak ingin anak-anaknya bodoh,
apalagi buta huruf sepertinya. Ia rela berjuang mati-matian agar empat anaknya
dapat terus sekolah. Ia bangkit, menerima keadaannya, berhenti berlarut-larut
dalam sedih, melanjutkan hidup dengan tegar. Pengakuan-pengakuan yang
menyakitkan memang menjatuhkan, tapi jatuh akan membuat semuanya terkapar, jadi
pilihan berjuang hingga tetes darah terakhir, menjadi pilihan paling
menakjubkan.
Novel ini membuka kembali ruang
empati saya pada mereka-mereka yang masih bergumul dengan kemiskinan, yang
ingin bersekolah tapi dililit kemiskinan, pada janda-janda di desa yang jauh, yang
sendirian berjuang untuk melanjutkan hidup dirinya dan anak-anaknya.
Bagi kalian yang butuh suntikan
semangat, yang mampu tapi menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk maju dan
berprestasi, yang berkecukupan tapi tidak bersyukur, silahkan baca Jurai.
Temukan semangat untuk bangkit, melanjutkan hidup, dan meraih cita-cita.
Hidup itu indah, bagi mereka yang
memperjuangkan hidupnya.
==============================
Judul: JURAI
Penulis: Guntur Alam
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama - Jakarta
*30/04/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar