JOURNAL

Jumat, 30 Oktober 2015

Novel On A Journey : Tentang Keberanian Menghadapi Masalah



Dua penyebab seseorang melakukan perjalanan, pertama karena hal lainnya dan kedua karena patah hati. Diakui atau tidak, Rubi pergi karena hal kedua. Merasa ga sih kalo itu juga bisa terjadi pada kamu? Kalo aku YA. Pingiiiin….pingin banget pergi kalau sedang dalam keadaan seperti itu. Lalu Rubi, pergi dengan bekal uang seadanya, tanpa tujuan, tanpa teman, juga tanpa ponsel. Uuuh…kalo ini, aku ga bisa. Tapi, Rubi bisa! Rubi ga manja.

Menemukan banyak hal baru, orang-orang baru, tempat-tempat baru dan pengalaman baru, merupakan hal biasa yang ditemukan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan. Tetapi pada perjalanan tanpa tujuan, tak tentu arah, tak terencana, seringnya malah dapat hal yang ga biasa, atau katakanlah lebih dari sekedar itu. Banyak hal tak terduga yang Rubi temui dalam perjalanannya. Dari bogem mentah seorang Bili, hingga supir bis kurang ajar yang menipunya habis-habisan. Aku meringis memegang pinggir mata saat Rubi mengganti balutan lukanya. Pedih. Perjalanan minggat yang pahit, ya Rubi. 

Tidur di taman, teras gedung kosong /kantor, bahkan di pomp bensin. Kamu itu cewek apa cowok sih, Rubi? Apakah rasa kecewa karena ditolak cinta bisa bikin perempuan sampai jadi kayak laki-laki begitu? Berani banget. Kalau begitu, aku malu. Soalnya aku tetap jadi cewek yang mewek-mewek jika patah hati. Hiks

Rubi jadi pelayan cuci piring? Sesuatu yang menurutku “ngapain sih mau?” Mau jalan, senang-senang, melipur hati, kok malah “nyangkut” di kedai tuk jadi pencuci piring. Tapi, wahai pejalan…aku baru mengerti, bahwa ga semua yang dilakoni karena “materi” semata. Justru, andai tak jadi pencuci piring, mana pernah Rubi bisa kenal Pak Sam, Pak Otto, dan Ma’am Ros. Bahkan, menurutku disinilah banyak “ilmu” yang didapat oleh Rubi. Aku mencatat baik-baik kata-kata pak Sam tentang ini: “Jangan pernah merasa sendirian bila sedang merasa sedih. Ada jutaan orang lain di luar sana, kami hanya beberapa jutaan orang itu, yang juga sedang merasakan kepahitan hidup yang kurang lebih sama. Dengan perihal yang berbeda tentunya. Mereka juga sedang berjuang melawan kesedihannya.” [– Hal.120-] Pak sam seperti sedang mengingatkanku! T_T

Ma’am Ros, Pak Sam, Kasir swalayan, Billi si pencuri sepeda, anak tukang rongsokan yang gemar naik bus ke sana kemari, Sofi Friday (bisa-bisanya ya ngejek nama Rubi Tuesday, aku ketawa), adalah orang-orang yang awalnya tidak bisa kutebak sebagai siapanya Rubi. Kupikir hanya figuran saja tapi ternyata justru menjadi “sentral” dalam kasus minggatnya Rubi. Entah kenapa, bagiku orang-orang inilah yang menjadi  “pembuka” kesadaran Rubi untuk kembali dan menyudahi perjalanan. Bahkan di akui oleh Rubi sendiri : “Aku baru bisa merasa bahwa hidupku baik-baik saja setelah mendengar dan mengetahui bahwa ternyata ada banyak orang lain di luar sana yang bernasib jauh lebih buruk dariku’’. [–Hal 218-]

Kisah Sofi, ah…  Memang tak semestinya Sofi kabur dari rumah,menentang orang tua, apalagi hingga mengandung anak di luar perkawinan. Okay, itu salah. Tetapi masih tersisa kesadaran seorang Sofi sebagai manusia yang berhati dan berperikemanusiaan. Jadi ku katakan salut atas pesan yang ingin disampaikan Desi lewat Sofi bahwa “Jangan tambah dosa dengan menggugurkan bayi tak berdosa .” “Aku suka bagian yang ini; ‘Bagaimana rasanya melahirkan tanpa didampingi suami?” Tanya seorang ibu. “Disayat. Mengejan. Perih. Nyeri. Dijahit. Kenapa orang-orang tidak memasukkan proses melahirkan ini sebagai salah satu seri keajaiban dunia?” [–Hal 248-] Aku ikut tegang sewaktu baca bagian Sofi melahirkan. Aku jadi mikir, jangan-jangan Desi pernah mengalami mendampingi seseorang yang hendak melahirkan :D

On a Journey. Asli, aku suka banget novel ini. Jujur aja, gaya berceritanya Desi tuh memang udah klik banget denganku. Tau gak, aku seakan membaca novel-novel luar yang pernah kubaca di waktu kecil dan remaja (sama dengan kesanku untuk Sebelas Malam). Entah kenapa, sampe aku teringat pada novel-novelnya Enid Blyton yang dulu sering kubaca di perpus sekolah (perpus skul ku dulu emang keren haha). Setting lokasi luar negerinya dapet banget. Aku bisa realisasikan dalam nyata seperti apa kedai kopi, taman, swalayan, gedung tua, motel dekat pump bensin, bus, dan lain-lain yang Desi ceritakan (karena aku pernah tinggal di LN, ya).

Seperti biasa, yang aku suka dari Desi adalah kepandaiannya dalam memaparkan sesuatu. Desi selalu pandai menceritakan sesuatu yang sangat biasa menjadi menarik. Tidak lebay dengan maksud menjadikan sebuah benda/tempat, katakanlah: jelek menjadi sesuatu yang cakep sehingga mengundang seseorang untuk melihat dan memegang. Justru yang jelek itu tetap diceritakan jelek adanya tapi dibahasakan dengan penuh kesan.Berkali-kali Desi menyebut sepeda Rubi sebagai rongsokan, tapi kok aku malah merasa sepedanya itu keren meski rombeng hehe. “Apa yang aku sukai dari buku ini adalah cara Rubi menggambarkan apa yang dia lihat.” Dave [–Hal 245-] Kamu betul, Dave!

Bagiku, pesan moral yang ingin Desi sampaikan lewat novelnya adalah keberanian untuk menghadapi masalah. Face your problem, don’t Facebook your problem!! Lho??! Haha. Ya, seseorang akan menjadi pengecut bila pergi dari masalah. Apalagi lari (estafet or marathon). “Aku memang baru bisa begini; buruk dan hal-hal lainnya. Tapi, aku tidak melarikan diri. Masalah ada untuk dihadapi, kau tahu?!” [ –Hal 197-]. Aku setuju, Bili!
“Kalau aku tidak memutuskan melakukan perjalanan, kalau tidak ditipu supir bus, dan kalau tidak yang lain-lain, aku tidak akan pernah mengetahui hal-hal baru, pelajaran-pelajaran hidup seperti ini.” Rubi [–Hal 219-] Dan, begitu juga ketika aku melakukan tiap perjalananku, Desi. Lho, kok Desi sih? Rubi kaliii. hihi

 “Ya, aku lumayan sering melakukan perjalanan. Dan, kupikir aku seperti mampu melihat dan merasakan sendiri apa yang ditulis Rubi. Pemaparannya terasa begitu hidup.” Dave [– Hal 247-]. Aku baru mau nulis gitu, Dave. Kok kamu udah duluan sih? Tau aja isi hatiku.
Issshh…..dari tadi aku cuma ngutip kata-kata dalam novel niih. Eh tapi gimana ya, emang yang ingin aku katakan tuh, udah dikatakan oleh Dave, Stine, Billi, dan Rubi sendiri. Hmm…hmm..berasa penulis sedang menulis tentang penulis yang sedang menuliskan dirinya sendiri. Hoaaa….ribet bet bet bet ngomongnya. Abaikan!

Kekurangan? Duh, maaf, suerrrr aku belum nemu kekurangan seperti typo, kejanggalan, atau apa di novel ini. Dalam 24 jam, sekitar 4 jam saja aku membacanya sampai tuntas (ya gimana dunk, kan diseling makan, minum, tidur, salat, nge-mall, nge-gym, dan nge-net). Dan ternyata hari-hari Rubi di perjalanan itu sudah 3 bulanan ya? Kok rasanya baru 4-5 hari? Owh..ini tanda aku ngikutin perjalanan Rubi dari hari ke hari.  Oh iya, yang pasti, endingnya itu lhooooo…ga sesuai perkiraaan. Nice! Dan….. aku suka kamu Rubi. Berani. Tegas. Sepertikuuuuuuuu. *ngaku-ngaku :p
“Jalan memiliki “caranya” sendiri. Orang yang sempat atau pernah tinggal atau belajar hidup di jalan, siapapun dia dan dalam kondisi bagaimanapun, akan lebih “luwes” menghadapi masalah bila dibandingkan orang rumahan. Stine [–Hal.80-] Yak, kayak aku! *gedubraks.


Yup, sekian sodara-sodara. Sorry kalo apa yang kutulis ini malah jadi spoiler. Aslinya ini memang bukan review, tapi aku merasa ga ingin sendirian menyimpan kesanku tentang isi novel On A Journey ini. Jadi kutulis saja apa-apa yang ada di kepalaku heuheuheu. Oh iya, buku ini aku beli di Gramedia Teras Kota - BSD Serpong TANGSEL. Bukunya mejeng di rak Best Fiction lho. Buku lain yang kubeli bareng On a Journey adalah The Twilight Saga Breaking Dawn. Rasa penasaranku pada Bella yang bangkit jadi Vampire, bisa kutahan. Aku mendahulukan novelnya Desi dulu buat di baca. Dan, aku seneeeng banget bisa baca novel ini. Sekarang malah jadi nunggu novel Desi berikutnya. Hehe…rasanya aku mulai menemukan penulis fiksi favorit…

*Katerina, January 31, 2013

“Fiction is a great combination between experience and imagination.”  
 -Desi Puspitasari-

===

On A Journey di Goodreads --> KLIK DI SINI
Desi Puspitasari on Twitter --> Puspitadesi 



*31/1/2013 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar