JOURNAL

Jumat, 30 Oktober 2015

Film Pendekar Tongkat Emas - The Golden Cane Warior


“PENDEKAR TONGKAT EMAS” adalah sebuah cerita fiksi mengenai kekuasaan, ambisi, pengkhianatan, balas dendam dan juga cinta.

Film Indonesia yang mengangkat tema martial arts klasik ini diproduseri oleh Mira Lesmana dan Riri Reza. MILES Film mengklaim bahwa Pendekar Tongkat Emas adalah produksi terlama setelah GIE, merupakan  produksi film termahal sepanjang sejarah MILES Film, yaitu sebesar Rp 25 miliar. Film mahal ini pun bertabur bintang; mulai dari Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Reza Rahadian, Nicholas Saputra, Eva Celia, Tara Basro, Landung Simatupang, Prisia Nasution, Whany Darmawan, dan Darius Sinathrya.

Koreografi laga yang rumit untuk aktor dan aktris dibantu XinXin Xiong, body double aktor kungfu legendaris Jet Lee dalam film Once upon a Time in China dan koreografer laga dalam film-film sutradara terkenal Tsui Hark. 


Anggun C.Sasmi, penyanyi Indonesia yang sudah go international, dipercaya menyanyikan Fly My Eagle, theme song dari film ini. Namun dari semua itu, yang bikin saya berdesir adalah keindahan alam Sumba (NTT) yang menjadi lokasi syuting, sangat luar biasooo.

Saya baru tentang film ini Kamis kemarin (18/12/2014), tepat di hari penayangan perdana. Setelah membaca di sana sini dan melihat trailernya di Youtube, malamnya saya memutuskan untuk segera menonton. Dan inilah kesan saya terhadap film keren ini.


Apik! Epic! Luar biasa!
Fighting, acting, gambar, scoring, dan lokasi syuting-nya sangat wow! Kagum dengan aksi bela diri yang diperagakan para pemain intinya. Seakan tidak mengira jika mereka hanya akting. Seperti pesilat sungguhan. Hebat koreografernya!

Alam Sumba
Sumba Timur nan eksotik
Alam Sumba sungguh indah tiada tara. Hamparan bukit yang ditumbuhi rumput dan ilalang berwarna keemasan, membuat hati saya berulang kali berdesir. Rasanya ingin segera meloncat dari tempat duduk, lalu terbang ke Sumba dengan karpet aladin! 

Berkali-kali saya berdecak kagum menyaksikan penampakan langit bergelimang cahaya keemasan. Saya bisa membayangkan para kru dan pemain berjam-jam menanti moment untuk beradegan dengan latar belakang sunrise atau sunset itu, demi gambar luar biasa indah yang akhirnya bisa saya nikmati hanya dengan duduk manis di dalam ruang bioskop. Betapa luar biasanya mereka yang bisa menikmati pemandangan itu secara langsung.

Lautan awan nan luas, panorama lembah, perkampungan, laut, serta sungai-sungai yang mengalir di tengah hamparan bukit, menjadi sajian paling menakjubkan. Tempat-tempat indah itu menjadi medan pertarungan yang sukses membuat saya ngiler dan ingin pergi menjejak Sumba.

Eva Celia sebagai Dara
Saya mencari cacat film ini, tapi tidak ketemu! 

Eva Celia menjadi bintang paling berpijar. Aktingnya memikat dan sangat mengesankan. Karakternya sangat kuat. Penjiwaannya patut diacungi jempol. Melihat talentanya, saya yakin remaja cantik ini akan gemilang di masa depan. Wajahnya yang dingin dengan sorot mata tajam, mencerminkan jiwa pendekarnya. Nuansa balas dendam dan nafsu merebut tongkat emas itu sangat lekat dalam tiap ekspresi yang ditampilkannya.




Adegan akrobatik para pemain Pendekar Tongkat Emas sendiri merupakan bagian dari koreografi bela diri yang telah dirancang oleh Xiong Xin Xin
Peran Reza sebagai Biru dan Tara sebagai Gerhana sangat jahat. Saya hampir saja sungguh-sungguh membenci keduanya. Syukurnya sadar bahwa ini hanya sebuah film, dan mereka sedang berakting. Namanya Reza si aktor watak, peran apa pun yang dimainkan, mampu membuat penontonnya terpengaruh. 

Tidak ada satupun bagian yang membosankan dari film ini. Tiap segmen punya porsi dialog dan adegan yang pas. Tidak kurang dan tidak lebih. Alur cerita mengalir lancar dan enak untuk diikuti, membuat saya terus menyimak dan tidak ingin melewatkan satu bagian pun. 
Pendekar Cantik Dari Perguruan Tongkat Emas
Nuansa etnik berupa motif tribal NTT pada pakaian pemain, aksesoris pengikat pinggang (seperti yang dikenakan Dara pada foto di atas ini), ataupun kain-kain yang digantungkan di padepokan Sayap Merah, muncul berkali-kali, sangat khas Indonesia. Tata busananya tidak ada masalah meskipun ada satu pakaian Dara yang menurut saya rada 'kebagusan'. Pakaian warna maroon yang dikenakan malam hari saat ia keluar dari tenda, tempat di mana sebelumnya ia pingsan dan dibantu oleh Elang, tampak 'modern'. Berbalik 180 derajat dari kostum yang dikenakan saat bertarung pada adegan sebelumnya.




Tempat ketika Dara dan Elang berlatih jurus tongkat emas melingkar bumi
Adegan mengharukan saat perpisahan Dara dan Elang, bikin saya menitikkan air mata. Pada senja yang hampir pupus, adegan romantis tercipta, Dara dan Elang berciuman mesra. Adegan ciuman ini tidak disensor. Jadi, tolong jangan ajak anak-anak di bawah umur untuk nonton. Selain itu adegan kekerasan di film ini terbilang banyak.

Saya suka sekali dengan karakter Angin, bocah laki-laki berkepala gundul mirip shaolin cilik. Jarang bicara, menguasai ilmu pengobatan, kuat, tangguh, dan selalu berusaha melindungi Dara, bahkan rela mati demi menyelamatkan Dara. Saya dihinggapi rasa sedih ketika ia mati dengan tragis, dibunuh secara sadis oleh saudaranya sendiri, Biru dan Gerhana.

Nicholas sebagai Elang, pendekar pengembara nan misterius (ga dibikin misterius juga udah tampang misterius hehe) yang asal usulnya ternyata sungguh tak terduga. Tampan dan memiliki tingkat ilmu beladiri di atas Dara. Ternyata kelak dialah yang menjadi pasangan Dara, pewaris Tongkat Emas yang sesungguhnya.


Elang (Nicholas Saputra)
Kehadiran sang legenda film Indonesia, Christine Hakim, membuat film ini kian sempurna. Karakter Cempaka yang diperankannya sangat kuat dan tak mudah terlupakan. Peran Darius sebagai ayah Elang tak banyak. Tapi jejaknya di film ini meninggalkan kesan yang mendalam.

Sebuah karya luar biasa yang telah memberi warna baru dunia perfilman Indonesia, sebab seperti kita tahu masih jarang rumah produksi menggarap action kolosal seperti film ini. Kualitas film ini mencapai level puncak. Dan jika boleh, ingin saya sandingkan dengan film sekelas Life Of Pie.

Sukses buat sutradara Ifa Isfansyah. Sukses juga buat Miles Film dan KG Studio. Jaya film Indonesia!






Buat yang ingin membaca review bagus tentang film ini, bisa baca ulasan yang ditulis oleh Ami Ibrahim berikut. Sumber dari SINI (klik)


Tongkat Emas Para Maestro - Menonton Film Pendekar Tongkat Emas

Dunia persilatan umumnya dilukiskan sebagai dunia antah berantah yang hanya diisi oleh satu hal: pertarungan. Tentu pertarunganabadi antara yang baik melawan yang buruk dan dengan demikian hadir pemenang dan juga pecundang. Kemenangan dan kekalahan dalam pertarungan abadi itu tentutidak kekal, semua tergantung pada kekuatan dan kesempurnaan ilmu, kebijaksanaan dalam menggunakan siasat dan taktik, kematangan pertimbangan pada tiap langkah dan tentu saja kemampuan mendayagunakan pengaruh dan kebesaran.

Cempaka, tokoh pemegang tongkat emas dan telah penguasa jurus paling digjaya, tentu paham hal itu. Di tangannya, tongkat emas tidak lagi semata senjata penghancur musuh, sang kejahatan, tetapi lebih merupakan daya yang akan menjaga tatanan, penegak kebenaran dan pencipta kebaikan. Pilihannya untuk undur diri dari dunia persilatan tentu sangat manusiawi. Kebesaran, kehormatan dan ketenaran tidak lagi menjadi godaan baginya. Tinggal satu tugas suci yang harus diembannya: mewariskan tongkat emas kepada salah satu dari empat murid perguruannya.

Dari titik inilah film Pendekar Tongkat Emas, produksi Miles Filmdengan dukungan Kompas Gramedia Studio, memulai kisahnya. Adalah Biru, Gerhana, Dara dan Angin, empat murid perguruan tongkat emas, tiba-tiba dikejutkan keinginan Cempaka untuk mewariskan tongkat emas kepada salah satu diantara mereka. “Sudah tiba waktunya,” kata Cempaka yang diperankan dengan indah oleh Christine Hakim. Sebagai murid-murid perguruan, dengan tingkatan ilmu berbeda,mereka tentu menduga-duga, kepada siapa tongkat sakti dan seluruh kekuatan yang dikandungnya akan diwariskan. Kenyataan bahwa mereka bukan sekadar murid, tetapi anak-anak angkat yang dipelihara Cempaka, tentu menimbulkan persoalan khas pewarisan kekuatan dan kekuasaan. Biru sebagai sebagai yang tertua tentu merasa berhak. Dia lelaki terkuat dengan ilmu lebih tinggi dari yang lain. Secara tersamar dia didukung Gerhana, perempuan manis yang tak dapat menyembunyikan ambisi. Sementara Dara, gadis kecil nyaris lugu tampak hanya menunggu dan Angin bocah lelaki yang memiliki kekuatan penyembuh dan selalu mendampingi cempaka merawat penyakitnya, tampak pasrah saja.


Cerita pun bergulir di layar antah berantah dunia persilatan. Memilih setting Sumba Timur dengan padang-padang berbukit, langit luas cerah, jalinan cerita, karakter dan adegan pun disempurnakan oleh panorama dan lanskap alam yang luar biasa. Cempaka kemudian memutuskan, tongkat emas diwariskan kepada Dara, diperankan Eva Celia. Biru dan Gerhana tidak dapat menerima kenyataan ini.Mereka berdua, masing-masing dimainkan Reza Rahadian dan Tara Basro, pun kecewa.  Keduanya memang memendam ambisiuntuk merebut tongkat emas dari Cempaka. Ambisi yang diduga terbentuk darilatar belakang mereka, juga Dara dan Angin, adalah anak dari musuh-musuh yang ditaklukkan dan dibunuh Cempaka dalam bertarungan perebutan posisi digjaya didunia persilatan itu. Keduanya tentu tidak diam. Ambisi yang membakar memunculkan kelicikan, ketamakan dan gelap mata. Sejak lama, keduanya telah bersekongkol untuk menyingkirkan Cempaka. Segala cara dihalalkan, termasuk menggunakan bisa ular mematikan yang perlahan-lahan menggerogoti Cempaka. 

Ditangan Dara, tongkat emas bukannya aman. Ilmu tongkat emas harus disempurnakan dengan mencari pasangannya. Bersama Angin yang dimainkan aktor cilik Aria Kusumah, atas perintah Cempaka seusai menyerahkan tongkat emas, Dara pun harus memulai pencarian. Cerita pun menanjak. Skenario yang ditulis Mira Lesmana, Jujur Prananto, Eddy Cahyono dan Seno Gumira Adjidarma dengan jernih membentuk atmosfir dunia silat yang hitam putih, penuh intrik, dendam dan balas dendam, pertarungan dan darah, menjadikannya sebuah flat-form lengkap untuk eksekusi. Termasuk kebijaksanaan, sikap-sikap dan prinsip-prinsip dasar yang dipendam dunia silat. 

Ifa Isfansyah sebagai sutradara pun terbaca bermain amat leluasa di atas flat-form itu. Pemahaman dan penghayatannya atas dunia persilatan, visinya akan kekuatan visual berhasil menyajikan tidak saja gambar yang keren, adegan yang tajam dan permainan aktor melalui penajaman karakter, tetapi juga mempertegas bayang-bayang pesan dibalik adegan-demi-adegan yang disajikannya. Keberhasilannya ialah bahwa seluruh elemen adegan, scene by scene, membuka ruang tafsir yang kaya, termasuk lanskap cerah berawan berganti-ganti yang melukiskan betapa luas kemungkinan semesta persilatan untuk diresepsi dan dimaknai. Hal ini menjadi mungkin karena dukungan penguasaan bahasa film baik teknis maupun filosifis yang meniscayakan pemanfaatan potensi seluruh elemen pembentuk film, termasuk aktor.

Di tangan Dara dan Angin, tongkat emas akhirnya direbut Biru danElang. Pasangan ini pun menjadi penguasa dunia persilatan setelah berhasil membunuh pemilik perguruan terkuat dengan modus racun bisa ular. Tetapi tongkat emas tak akan sempurna tanpa pasangannya, jurus tongkat melilit bumi yang hanya dapat diwariskan dan kini dimiliki Elang, pendekar pengembara, yang diperankan Nicholas Saputra. Elang yang terikat sumpah untuk tidak lagi turun gelanggang tak dapat menahan diri untuk membantu Dara merebut kembali tongkat yang menjadi haknya. Didukung para pinisepuh dunia silat, Elang pun melatih Dara, menurunkan jurus rahasia yang menjadi pasangan tongkat emas. Tongkat emas harus kembali kepada yang berhak. Pertarungan penentuan pun tak terhindarkan. Elang dan Dara melawan Biru dan Gerhana.

Pertarungan penentuan memang ihwal tipikal dalam cerita silat. Meski akhirnya putih berhasil mengalahkan hitam, kebaikan mengalahkan kejahatan dan ending yang terpapar selalu dapat tertebak, film Pendekar Tongkat Emas ini mengesankan bahwa cerita sesungguhnya baru bermula. Seperti tawaran yang umumnya dapat kita resepsi dari karya para maestro, dimana karya itu sendiri selalu dipandang sebagai titik stimulasi, mula segala tafsir, awal penciptaan cerita dalam kesadaran, demikian pula kesanumum yang muncul di sini. Artinya, seusai layar surut, beratus bahkan beribu kemungkinan cerita tercipta dalam benak penonton untuk menjadi pemerkaya kesadaran, juga renungan, dus pemerkaya kehidupan.

Sekiranya kesan ini benar, maka hampir dapat diduga bahwa Mira Lesmana dan kawan-kawan, kembali berhasil menancapkan “tongkat emas” di dunia perfileman kita, setelah masterpeace Petualangan Sherina (cerita anak), Ada Apa dengan Cinta (cerita remaja), apalagi di Pendekar Tongkat Emas ini hadir aktor-aktor dengan visi besar melampaui sekadar teknis keaktoran seperti Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Reza Rahadian dan Nicholas Saputra. Selain tentu Eva Celia, Tara Basro dan lainnya. Hadir pula Erwin Gutawa menyuguhkan komposisi yang amat khas didasarkan pada bunyi-bunyian tradisional Sumba. Visi besar sutradara Ifa Isfansyah yang bersinergi amat manis dengan Produser Mira Lesama dan Co Prosuder Riri Riza hampir dipastikan telah memberi lebih dari sekadar tontonan tetapi juga penyadaran akan urgensi sebuah film, bagi sebuah bangsa, ihwal yang tak dapat sekadar diringkus dalam frame ekonomi-industri-kreatif yang lagi heboh itu.

Selamat menonton.

*19/12/2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar