JOURNAL

Sabtu, 02 Januari 2016

Naik Kereta ke Bogor

Stasiun Bogor

Tidak pernah naik kereta (di Indonesia) dengan berbagai alasan yang hanya diketahui oleh diri sendiri, bukanlah sesuatu yang harus malu untuk diakui. Itu yang terjadi bulan Juni tahun 2014 lalu, saat pertama kalinya naik kereta dari Stasiun Duri Jakarta ke Stasiun Rangkas Bitung. Ada pilihan naik bus atau mobil sendiri, dan aku meminta itu, tapi sayang tidak ada yang bisa menemani dan mengantar. Tidak berani sendirian naik angkutan umum. Pilihannya tetap harus naik kereta bersama rombongan trip Baduy.

Tidak punya pengalaman menjelajah Jabodetabek dengan kereta, karenanya pasrah saja berangkat ke Duri pagi-pagi sekali. Pergi ke sana, keluar masuk gang, belok kiri kanan nyasar, tapi akhirnya sampai juga di stasiun. Nempel teman, biar tidak sendirian. Tiket sudah ada yang siapkan, tinggal naik dan duduk manis. Kartu asuransi perjalanan yang diberikan Wuri dipegang erat-erat. Jaminan bila celaka naik kereta. Aku terlalu khawatir.

Gemasnya, saat tahu kereta yang dinaiki ternyata lewat stasiun Rawa Buntu BSD yang ada di kawasan tempat tinggalku. Kalau tahu begitu, kenapa aku harus ke Duri segala?

Di atas kereta, cerita pun dimulai. Bangku saling berhadapan, 2 seat dan 3 seat, tapi nyatanya 2 buat 3, dan 3 buat 4. Rapat, padat, dan gerah. Saat kereta mulai jalan, ada penjual berdatangan, lewat, hilir mudik menawarkan dagangan. Ada nasi uduk, salak, tahu, minuman kemasan, gorengan, ayam jago, hingga pengamen yang bernyanyi tepat di sebelahku. Keringat pengamen itu bercucuran. Setetes dua tetes jatuh ke lenganku. Aku meringis. Tak tahan aromanya. 

Oh indahnya cerita kereta berbayar 5000 rupiah itu. Tak sampai di situ, ketika kereta sampai di Rangkas Bitung, aku berada di gerbong yang bila turun harus loncat. Loncatnya bukan jatuh di atas tanah empuk bak kasur, tapi di atas bebatuan kasar yang sukses bikin lututku sakit dan memerah. Jarak pijakan gerbong dengan tanah itu tinggi. Aku harus lompat indah jika ingin turun. Iya, indah. Seindah rok kuning yang gagal aku kepit saat terbang untuk mendarat di bumi.
 
Di dalam kereta tujuan Rangkas Bitung

Teman-teman trip Baduy

Batu-batu di stasiun Rangkas Bitung inilah yang menyambut dengkulku

Yang kedua, cerita tentang naik kereta eksekutif antar provinsi yang dikisahkan oleh Lestari membuatku berhasil dimadu, #eh diracun. Nekat beli tiket kereta Semarang-Jakarta. Padahal sesungguhnya aku gemetar. Membayangkan sendirian, juga horornya kereta dari Duri-Rangkas Bitung yang pernah aku naiki saat ke Baduy. Untungnya Tari memahamiku. 

Aku diantar sampai stasiun, pakai motor. Diajari cara print out tiket, check-in, dan akhirnya dilepas dengan dadah-dadah. Setelah di dalam, ada ibu-ibu dan seorang pemuda di bangku tunggu. Aku tanya mereka mau kemana. Ternyata satu tujuan, satu gerbong pula. Saat itu juga aku dekati si ibu. Modus biar ada teman he he. Dan saat kereta tiba, aku ikuti langkah ibu itu sampai masuk kereta. Ternyata bangku kami berjauhan. Dia nun jauh di belakang, aku di depan. Keretanya bagus, nyaman, dan tiada lagi ayam jago hidup seperti yang aku jumpai saat naik kereta ke Baduy. 

Stasiun Tawang Semarang

Kereta Argo Anggrek

Bagaimana dengan kereta di Jabodetabek? Seumur-umur aku belum pernah naik. Tanya-tanya rute ke teman-teman sudah puluhan kali tapi tak satupun terealisasi. Aku orang baru di Jakarta? Ah sungguh terlalu kalau dianggap begitu. Kalau mau tengok riwayat tinggal di Jakarta, mari tengok kakekku bersaudara, mulai dari Kakek Daniel, kakek P, kakek S, mereka sudah jadi warga Jakarta sejak tahun 1950-an. Jakarta bukan tempat baru. Apa yang ada di kota ini sudah lama tahu kendati aku baru melihatnya sesuai usiaku. Mungkin selama ini aku kebanyakan diam dalam sangkar, kurang piknik, sehingga sampai tua seperti saat ini, baru sekarang naik kereta di Jakarta. Ini bukan aib, ini hanya menjungkir balikkan fakta nasib. Nasib orang penakut dan tidak percaya diri :D

“Sayang, kamu jadi mencoba naik kereta ke Bogor?” tanya suamiku. Saat itu kami sedang dalam perjalanan ke Depok, hendak main ke rumah keluarga.

“Jadi, tapi aku takut, diantar pakai mobil saja gimana?” tanyaku. Aku sepertinya melantur. Seolah tak sadar kondisi jalan di Jabodetabek sejak Kamis (24/12) padat dan macet parah.

“Ini soal mencoba berani naik kereta kan?” aku ditanya balik.

“Iya, sih.”

“Kalau begitu, naik kereta saja. Aku akan antar!”


Bicara tentang dorongan dan dukungan untuk mencoba naik kereta, apa yang diucapkan suamiku sama seperti yang aku pernah dapat dari sekian banyak orang yang aku kenal. Tapi kali ini entahlah, rasanya mendapat dorongan kuat bertenaga 1000 ekor kuda.

“Naik kereta itu seru. Kamu akan melihat kehidupan…”

Ada yang bilang begitu padaku.

Aku mau!
 
Jejak pertama

Mobil ditinggal di stasiun, lalu berangkat rame-rame naik kereta

Jumat tgl. 25/12 jadi momen ketiga kalinya naik kereta (di Indonesia), dan pertama kalinya naik kereta ke Bogor. Aku naik dari stasiun Pondok Cina. Suami ikut. Mertua ikut. Mereka ikut karena ingin ikut mencoba naik kereta ke Bogor. Sama-sama belum pernah. Bedanya, mereka berani dan percaya diri, sedang aku tidak.

Adikku punya dua kartu commet (commuter electronic ticketing). Keduanya ia pinjamkan untuk kami pakai. Kekurangannya kami beli lagi. Naik kereta berempat membuatku berani. Tidak gemetar. Tidak takut. Tidak sendirian. Aku senang. Aku dan ibu naik ke gerbong wanita. Suamiku di gerbong lain. Aku tidak tahu kalau wanita boleh saja pindah ke gerbong laki-laki. Kalau tahu begitu aku akan pilih satu gerbong dengan suami. Kami terpisah. Aku di gerbong belakang, dia di gerbong depan.
 

Suasana di dalam gerbong ternyata tidak seperti yang aku bayangkan. Aku sering dengar cerita teman-temanku yang tiap hari pergi dan pulang kerja naik KRL, katanya pakai desak-desakan, ramai, padat, dan penuh perjuangan. Tapi kemarin aku tidak menemukan keadaan itu. Tapi mungkin juga karena bukan hari kerja dan jam kerja, makanya longgar dan santai. Saat itu bangkunya penuh, beberapa orang berdiri. Syukurnya ada yang memberikan tempat untuk ibu, jadi kebagian tempat duduk, sedang aku tidak. Aku berdiri di atas wedges 10 cm selama melewati 4 stasiun. Sebelum stasiun terakhir aku baru bisa duduk. Tak sampai 20 menit kereta sudah sampai di Bogor. Selesai. Tuntas. Aku tercengang senang. Ternyata sangat cepat. Bebas macet, bebas pegal. Aduhai…

Setelah mengantarku, suami dan mertua kembali naik kereta, pulang ke Depok. Mereka tidak ikut serta ke Botani Square Bogor, tempat aku bertemu dengan teman-temanku.

Keluar dari stasiun aku berjalan menuju jembatan penyeberangan. Di situ sangat ramai. Benar-benar padat orang. Petugas keamanan stasiun sampai harus meninggikan suara untuk mengatur orang-orang yang berjalan sambil berteriak untuk menjaga dompet dan tas. Peringatan itu membuatku bergidik, tempat ini pasti tidak aman! Aku mendekap tasku erat-erat, sementara satu tangan menggenggam handphone, hendak menelpon mas Yopie Pangkey (+yopie franz) yang katanya akan menjemput di depan stasiun.

“Tunggu di depan Taman Topi Square, ya,” pesan mas Yopie.

Aku mengartikan kata “depan” dengan berdiri persis di depan Taman Topi. Jadi, aku  menyeberang jalan menuju Taman Topi. Sampai di sana aku duduk. Ternyata aku salah paham, harusnya tidak perlu menyeberang karena mobil yang dinaiki Mas Yo bukan datang dari arah yang aku maksud. Akhirnya aku pindah tempat lagi, menyeberang ke arah stasiun, lalu nunggu di depan Bank BJB. Mas Yo ternyata diantar oleh saudaranya, mas Ito dan istrinya. Aku sudah kenal dan ketemu mas Ito waktu nonton pertandingan wushu di tennis indoor senayan sehari sebelumnya. Aku merasa lega dijemput. Hilang satu ketakutan.

Perjalanan naik kereta hari itu ternyata luar biasa. Aku jadi tahu cara naik KRL. Jadi berani. Jadi percaya diri. Ini benar-benar jadi kenangan manis di ujung tahun 2015. Besok-besok aku akan naik kereta lagi.

Sore itu aku, Mas Yo, Pak Indra Kesuma, Melly, Salman, Taufan Gio, dan Bartian, kumpul di Super Bowl Botani Square. Kami ngobrol sejak jam 4 sore sampai 7 malam. Awalnya baru berdua, lalu bertiga setelah ada Pak Indra. Jadi berempat setelah ada Taufan. Berlima ketika Melly datang. Salman belum kelihatan, ternyata dia belanja di Giant. Kemudian ada Bartian, kami jadi berenam. Salman baru datang setelah dibilang bahwa Mas Yo akan berangkat ke Lampung jam 8. Ya, akhirnya lengkap sudah kehadiran mereka yang hari itu memang menyatakan akan datang. Semuanya 7 orang.

Kita ngobrolin apa?
Apa ya? Hehe

Berempat

Berlima

Akhirnya bertujuh!

Jam setengah delapan kami meninggalkan Super Bowl. Lalu ramai-ramai mengantar Mas Yo ke terminal bus Damri yang ada di sebelah Botani Square. Sampai di sini aku teringat ucapan Mas Ito, Mas Yo itu sengaja setting tempat kumpulnya di Botani biar ada drama dadah-dadah haha. Sampe dia bilang “kebaca kodenya…kebaca maksudnya….” Aku ngikik. Tapi dalam hati. ya sudahlah, apa salahnya nganter fotografer Lampung itu ke bus. 

Tapi beneran, drama itu benar-benar tayang secara live. Salman dadah-dadah sambil memegang kantong kresek berisi belanjaan. Pak Indra, Taufan, dan Bartian juga demikian. Hanya Melly yang enggak, karena beberapa saat sebelumnya dia sudah pulang duluan. Aku juga enggak, karena jadi tukang foto orang yang dadah-dadah….

Jadi, naik kereta ke Bogor itu cuma buat menyaksikan dadah-dadah? Haha 

Silakan pikirkan apa saja :p

Sebelum drama dimulai

drama banget dadah-dadah, ngalahin drama korea :p

Bus Mas Yopie meninggalkan terminal. Perlahan menjauh, lalu hilang dari pandangan. Kehadirannya di Jakarta sejak Jumat 18/12 berakhir hari Jumat 25/12. Melly sudah pulang dengan motornya ke Cibinong. Bartian dan Taufan juga pulang ke Cibinong, mereka naik bus. Pak Indra naik bus ke Cibubur. Aku dan Salman naik kereta.

Ya, aku naik kereta lagi.

Besok akan naik lagi, lagi dan lagi.


*(KS)

5 komentar:

  1. pertamax...

    Seru ya naik kereta? Aku pernah Malang - Jakarta bareng keluarganya Ito yang bawa semua anak2nya. lebih seru :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pertamax mahal :D

      Seru berdiri di kereta :))

      Wauw naik kereta Malang-Jakarta kan jauh tuh ya. Sama anak-anak pula. Keseruan seperti apakah itu?


      Hapus
  2. ihiii pocin udah kereeeeen.. masih keingat dulu sering mampir di pocin untuk kopdaran mp :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku baru pertama nih Yud. Oh dulu ga gitu ya stasiun pocin?

      Hapus
  3. Haliim mana Halim, pas pulang dari Lampung, kita naik kereta Bisnis. Oalaah kursinya keras dan sandarannya gak bisa dimiringin, tersiksa buanget hahaha. Nambah dikit sudah bisa kelas eksekutif. Yalah sebagai pelajaran.

    Om Yopie artis besar euy hahaha

    BalasHapus